Ternyata pikiranku udah separah ini sejak SMA =w=
Warning: Bloody scene.
Aku yang Bukan Aku
Pernah
mendengar istilah doppelganger?
Sisi
buruk kita. Sisi negatif kita. Bisa juga dibilang, iblis yang berwujud mirip
seperti kita. Makhluk yang menyimpan sifat kebalikan dari diri kita yang
sebenarnya.
Orang
bilang, jika kita bertemu dengan doppelganger kita, itu berarti pertanda buruk,
dan kita akan segera mati. Aku sempat tidak mengerti apa maksudnya, sampai aku
mengalaminya sendiri hari itu.
Di malam hari
saat pertama kali aku bertemu dengannya, tubuhku kaku dan gemetar, lidahku
kelu, mataku tak henti-hentinya menatap anak perempuan yang berwajah sama
persis denganku itu. Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat. Ia duduk
dengan anggun di bingkai jendela kamarku, angin meniup rambutnya yang panjang
dan berkilau tertimpa sinar bulan ke arahku. Aku hampir saja berteriak, namun
seolah memahami ketakutanku, ia tersenyum padaku dan turun dari bingkai jendela
sambil berkata, “Aku adalah sisi lain dari dirimu, bagian dari dirimu. Kita ini
sama…”
Senyumnya begitu cantik, namun walau aku tahu ia
tak sedang berusaha menakutiku, tetap saja bulu romaku bergidik.
Aku
sendiri hanyalah anak perempuan biasa, tidak begitu menonjol di kelas.
Teman-teman SMP ku bahkan banyak yang tidak mengenalku. Aku adalah tipe anak
melankolis yang lemah dan pasrah, setidaknya sampai Yuuki; begitulah ia
menyebut namanya, datang kepadaku.
Setiap
lewat tengah malam, seperti biasa,
bayangan dirinya
terbentuk jelas di gorden jendelaku abibat
sorotan cahaya bulan. Aku menyingkap gorden dan melihatnya
duduk di bingkai jendela, tersenyum dengan wajahnya yang entah kenapa, terkesan
begitu elegan dan terkesan sedikit mistis, padahal jelas-jelas wajahnya serupa
denganku. Ia berwujud seperti manusia, namun tidak dapat disentuh dan aura
dingin yang membuatku merinding memancar keluar dari dirinya. Ia mulai angkat
bicara, “Mengapa tadi kau tidak minta bantuan padanya?” Aku terkesiap, dan
mulai mengingat-ingat kejadian sepagi tadi.
Aku
teringat kejadian di jam matematika tadi. Aku terlambat datang dan ketinggalan
beberapa catatan dan penjelasan penting. Aku ingin sekali meminjam catatan dan bertanya
sedikit tentang penjelasan itu pada Yosuke yang duduk di depanku, karena memang
dia terkenal paling jago matematika di kelas. Tapi aku terpaksa mengurungkan niatku
karena tak berani menyapanya.
“Kenapa
kamu harus takut?” Yuuki mulai bicara lagi, memecah keheningan. “Padahal itu
kesempatan bagus untuk bisa berbicara dengannya. Kamu menyukai dia, kan ?”
Aku
terpekur, dalam hati aku mengiyakan kata-kata Yuuki. Tapi entah kenapa, saat itu
jangankan untuk mencolek pundaknya, mau memanggil namanya saja aku harus
menahan nafas panjang, gemetar, dan akhirnya tidak jadi.
“Apa kau pikir,
kau bisa terus-terusan hidup dengan cara begini?” lanjutnya. “Dengarkan aku,
Kimika. Aku bisa saja membantumu. Tapi aku tidak bisa muncul di saat matahari
bersinar tanpa raga. Jadi kalau kau mau, berbagilah raga denganku, dan aku
mungkin bisa memperbaiki kehidupanmu.” katanya.
“Aku menyimpan
keberanian yang terpendam di dalam dirimu. Aku akan mengatasi semua rasa rendah
diri dan ketakutanmu.” tambahnya. “Bukalah dirimu dan berbagilah tempat
denganku. Well, aku tidak memaksa. Your choice.”
Aku terdiam sejenak.
Ini keren, pikirku. Aku bisa jadi orang lain yang lebih berani. Pribadi yang kudambakan selama
ini!
“Ba, baiklah…
Tapi bagaimana caranya?”
“Pejamkan
matamu, pusatkan semua energimu ke pusat tubuhmu, di sekitar bawah pusarmu.”
Aku melakukan
apa yang dia katakan. Mula-mula tidak terjadi apa-apa. Aku mencoba lebih
berkonsentrasi lagi. Kali ini, aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku merasakan
di dadaku seperti ada pintu besar yang terbuka, dan sekejap kemudian, aku
merasa seperti ada sesuatu menekan dan memaksa masuk ke dalam diriku melalui
‘pintu’ di dadaku. Aku menjerit tertahan, kugenggam erat tanganku dan dengan
satu hentakan kuat, sesuatu yang menekanku itu berhasil masuk, sementara aku
terhempas ke dinding dan jatuh pingsan.
Keesokan paginya
saat aku terbangun, sebuah suara yang tak asing menyapaku. “Pagi, Kimika...”
Suara itu terdengar bukan melalui telinga, melainkan melalui kepalaku. Suara
Yuuki yang menempati ragaku. “Cepat, bergegaslah ke sekolah, Kimika.” katanya.
Di sekolah,
kulihat Yosuke sedang duduk sendirian, asyik membaca. Ini kesempatan bagus
untuk ngobrol, pikirku. Yuuki pun merespon, “Coba saja,” belum sempat aku
berkata apa-apa, Yuuki melangkahkan kakiku ke meja Yosuke dan menyapanya dengan
senyum manis, “Pagi, Yosuke!”
Yosuke tersenyum
sambil menatapku dengan agak heran. “Hee, Kimika, tumben ceria banget,”
“Yup, soalnya hari
ini kan aku
nggak telat kaya kemarin,” kataku, maksudku kata Yuuki dalam diriku, sambil
pasang wajah sok imut. Aku menepuk jidat dalam hati. Yuuki, kau apakan image
pemalu-ku? Pasti Yosuke bakal illfeel melihatku bertingkah seperti itu.
Diluar dugaan,
Yosuke justru terkekeh. “Iya, padahal kemarin pas kamu nggak ada tuh, pas
seru-serunya, lho. Kelas kita kehujanan rumus dari si Botak.”
“Oh ya? Tapi kan ada Yosuke si payung
rumus. Pasti kamu langsung menghisapnya sekali lihat. Nah, sekarang pinjamin
dong catatan kemarin. Oh, dan jelasin sekalian, aku bukan Yosuke yang langsung
ngerti sekali baca, hehe.”
“Ah, bisa aja
kamu. Hei, mana mungkin aku bawa catatan matematika, hari ini kan nggak ada jadwalnya. Gini aja, besok aku
bawain, terus kalau kamu mau, pulang sekolah aku ajarin sedikit. Aku kan mau ambil jurusan
keguruan, jadi sekalian aku jadiin kelinci percobaan. Sebisaku, lho ya…”
katanya sambil tersenyum.
“Oke, pak guru!
Tapi nggak bayar, kan ?”
Kataku sambil pura-pura melirik sinis.
“Ah, enggak…
Tapi kalau guru nggak dapet makan siang kan
gimana gitu… Jadi tolong besok… yah… minimal pizza lah… hehehe…”
Aku nyengir dan
beranjak kembali ke bangkuku, karena bel sudah berbunyi. Rasanya nggak percaya,
Yosuke yang sampai kemarin cuma bisa kulihat dari jauh, tersenyum padaku,
bahkan berjanji mengajariku!
Begitulah Yuuki
membantuku, pada awalnya ini terasa begitu menyenangkan, aku bisa menjadi sosok
cewek yang supel, ceria, PD, dan bermental kuat seperti ini.
Tapi semuanya
perlahan hancur ketika Yuuki mulai berulah suatu hari. Ia memaksaku memekai
sepatu putih ke sekolah.
“Tapi Yuuki, di
sekolahku sepatunya ‘kan
harus hitam…”
“Cerewet! Lihat,
kakimu lebih cantik kalau pakai sepatu putih,”
Memeng benar,
kakiku tampak anggun dengan sepatu putih dan tanpa kaos kaki, tapi aku bakal
dapat masalah kalau begini caranya!
Benar saja, baru
beberapa langkah aku masuk gerbang sekolah, guru piket sudah menegurku dengan
halus. Aku tahu kalau aku harus telanjang kaki hari ini. Tapi kenyataannya
berbeda. Yuuki maju dan angkat bicara. “Nggak mau. Emangnya apa urusanmu?” Guru
itu terkejut, lebih-lebih aku. Seumur hidup aku nggak pernah berkata sekasar
itu pada guru. Beliau mulai memberikan peringatan keras, tapi Yuuki acuh dan
melangkah pergi meninggalkan beliau. Kontan saja guru itu marah dan menarik
tanganku. Yuuki melotot dan menepisnya dengan kasar sambil menggertak,
“Lepaskan!”
Aku ketakutan
sekali. “Yuuki, hentikan!” jeritku. Namun apa daya, suaraku tak bisa keluar.
Yang kudengar hanyalah suara amukan Yuuki yang makin menjadi. Gertakan pak
guru. Ditambah lagi kasak-kusuk teman-teman yang menyaksikan aku bergelut
dengan guru. “Hentikaaaan!” jeritku lagi, tanpa suara yang timbul.
Jadilah kasus
sepele ini berakhir di ruang kepala sekolah. Baik aku dan Yuuki, semuanya
bungkam dan mendengarkan saja ceramah dari Kepala Sekolah dan guru-guru. Ini
tidak adil, pikirku. Aku tak melakukan apa-apa, tapi aku tak bisa membela diri.
Mana mungkin aku bilang kalau aku dikendalikan doppelganger?
Sejak saat itu
Yuuki kerap berulah. Teman-teman, termasuk Yosuke mulai menjauhiku. Guru-guru
menjulukiku anak Bengal , dan menjadikanku
bahan pembicaraan di semua kelas. Rasanya Yuuki justru menghancurkan hidupku
daripada membantu.
Puncaknya ketika
sepulang sekolah, begitu masuk kamar dan mengunci pintu, tiba-tiba Yuuki
mengambil cutter dan mengiris tanganku. “Yuuki! A…apa yang kau lakukan…?”
jeritku histeris sambil menggenggam tanganku yang terluka.
“Memenuhi hasrat
terpendammu,” jawabnya. “Lihat,” Ia membuka genggaman tanganku pada luka itu,
dan memperlihatkan darah yang mengalir dan yang menempel di tanganku. Entah
kenapa, aku tidak ngeri melihatnya. Rasanya seperti melihat makanan saja.
“Itulah hasrat
terpendammu, bloodlust. Tanpa kau sadari, kau sebenarnya suka melihat darah,
tapi kau menyembunyikannya dan menyimpannya dalam diriku. Kau adalah seorang
masochist!”
“Tapi tidak
begini caranya! Tidak semua hasratku harus dipenuhi! Pergi! Tinggalkan
tubuhku!”
“Kau pikir kau
bisa mengusir jiwa yang sudah kau terima dengan sukarela? Sekali kau menerima,
kau harus memeliharanya seumur hidupmu!”
Aku semakin
panik mendengarnya. “Pergi!” jeritku histeris.
Cratt! Dia
mengiris lenganku lagi. “Diam! Kau tidak lagi berkuasa atas dirimu. Dalam satu
tubuh, jiwa mana yang kuat, dialah yang berkuasa, dan dalam dirimu, akulah yang
berkuasa, Kimika. AKU!”
“Kau menipuku!”
jeritku.
“Menipu?” dia
tertawa sinis. “Bukankah aku hanya bilang aku bisa menjadikanmu lebih berani,
dan aku sudah melakukannya, bukan? Lagipula aku tak memaksamu menerimaku dalam
dirimu. Inilah pilihanmu!”
Tidak, tidak
mungkin, dia benar. Dia menepati kata-katanya, akulah yang terjebak dengan
kata-katanya.
Dia tak berhenti
menyayat-nyayat tubuhku. Tak hanya tangan, tapi seluruh tubuhku. “Kumohon,
hentikaan!” jeritku memelas. Sekeras apaun aku menjerit, suaraku tak keluar,
sehingga tak seorangpun datang menolongku. Lantai kamarku berceceran darah. Aku
mulai merasakan paerasaan aneh itu lagi. Seperti merasa terpuaskan, namun
menderita perih di sekujur tubuhku.
“Kau tak tahan?
Kalau begitu mari kita tinggalkan saja tubuh ini. Sepertinya memang sudah tak
bisa ditinggali lebih lama lagi,” kata Yuuki datar.
“Apa maksudmu?
Kau lupa? Ini tubuhKU!”
“Yeah, lalu?
Jiwa kita sudah menjadi satu di raga ini. Hanya ada dua pilihan, bersama-sama
tinggal atau bersama-sama pergi dari tubuh ini. Kalau kau memang menderita,
mari kita tinggalkan tubuh ini.”
Keesokan
subuhnya, ketika suasana diluar masih gelap dan dingin menusuk tulang, Cahaya
dari sirene mobil polisi berkelap-kelip melewati jendela, sebagian terhalang
bingkai jendela tempat ia biasa duduk saat berusaha merebutku dari ragaku,
sebagian lagi menembus gorden jendela sebuah kamar yang dipenuhi petugas
berbaju cokelat yang sibuk menyelidik dan menginterogasi, dan petugas berbaju
putih yang mengangkut mayat anak perempuan berpakaian seragam putih abu-abu
yang mati bunuh diri dengan sebilah pisau tertikam di dadanya, diiringi isak
tangis keluarganya. Sekujur tubuhnya penuh luka sayatan, namun wajahnya
menunjukkan kedamaian karena ia baru saja terbebas dari siksaan dari dalam dirinya sendiri.
Dari belakang,
sosok doppelgangerku memegang bahuku, kemudian menarik tanganku sambil
tersenyum, hingga aku melayang dan tak menapak tanah lagi.
“Kau kelihatan
cantik kalau belepotan darah,” katanya melirik ke arah jasadku dengan nada mengejek. Aku
hanya tersenyum kecut, sambil mengikutinya menjelajah kota , menyaksikan fajar dari atas langit.
Aku paham
sekarang, kenapa pertemuan dengan doppelganger selalu berujung kematian.
Karena ia ingin bersama dirimu, si kembarannya, untuk selama-lamanya.
-Fin-
Aneh ya? Aku juga bingung kenapa aku bisa ngarang cerita seseram ini (._.)
nice,walaupun agak sedikit sadis, tp ide oke XD
ReplyDelete