Cerpen Gaje :P

| Wednesday, August 1, 2012
Tugas mengarang cerpen Bahasa Indonesia waktu kelas 2 SMA. :)
Ternyata pikiranku udah separah ini sejak SMA =w=

Warning: Bloody scene.



Aku yang Bukan Aku


            Pernah mendengar istilah doppelganger?
            Sisi buruk kita. Sisi negatif kita. Bisa juga dibilang, iblis yang berwujud mirip seperti kita. Makhluk yang menyimpan sifat kebalikan dari diri kita yang sebenarnya.
            Orang bilang, jika kita bertemu dengan doppelganger kita, itu berarti pertanda buruk, dan kita akan segera mati. Aku sempat tidak mengerti apa maksudnya, sampai aku mengalaminya sendiri hari itu.
Di malam hari saat pertama kali aku bertemu dengannya, tubuhku kaku dan gemetar, lidahku kelu, mataku tak henti-hentinya menatap anak perempuan yang berwajah sama persis denganku itu. Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat. Ia duduk dengan anggun di bingkai jendela kamarku, angin meniup rambutnya yang panjang dan berkilau tertimpa sinar bulan ke arahku. Aku hampir saja berteriak, namun seolah memahami ketakutanku, ia tersenyum padaku dan turun dari bingkai jendela sambil berkata, “Aku adalah sisi lain dari dirimu, bagian dari dirimu. Kita ini sama…”
Senyumnya begitu cantik, namun walau aku tahu ia tak sedang berusaha menakutiku, tetap saja bulu romaku bergidik.
            Aku sendiri hanyalah anak perempuan biasa, tidak begitu menonjol di kelas. Teman-teman SMP ku bahkan banyak yang tidak mengenalku. Aku adalah tipe anak melankolis yang lemah dan pasrah, setidaknya sampai Yuuki; begitulah ia menyebut namanya, datang kepadaku.
            Setiap lewat tengah malam, seperti biasa, bayangan dirinya terbentuk jelas di gorden jendelaku abibat sorotan cahaya bulan. Aku menyingkap gorden dan melihatnya duduk di bingkai jendela, tersenyum dengan wajahnya yang entah kenapa, terkesan begitu elegan dan terkesan sedikit mistis, padahal jelas-jelas wajahnya serupa denganku. Ia berwujud seperti manusia, namun tidak dapat disentuh dan aura dingin yang membuatku merinding memancar keluar dari dirinya. Ia mulai angkat bicara, “Mengapa tadi kau tidak minta bantuan padanya?” Aku terkesiap, dan mulai mengingat-ingat kejadian sepagi tadi.
            Aku teringat kejadian di jam matematika tadi. Aku terlambat datang dan ketinggalan beberapa catatan dan penjelasan penting. Aku ingin sekali meminjam catatan dan bertanya sedikit tentang penjelasan itu pada Yosuke yang duduk di depanku, karena memang dia terkenal paling jago matematika di kelas. Tapi aku terpaksa mengurungkan niatku karena tak berani menyapanya.
            “Kenapa kamu harus takut?” Yuuki mulai bicara lagi, memecah keheningan. “Padahal itu kesempatan bagus untuk bisa berbicara dengannya. Kamu menyukai dia, kan?”
            Aku terpekur, dalam hati aku mengiyakan kata-kata Yuuki. Tapi entah kenapa, saat itu jangankan untuk mencolek pundaknya, mau memanggil namanya saja aku harus menahan nafas panjang, gemetar, dan akhirnya tidak jadi.
“Apa kau pikir, kau bisa terus-terusan hidup dengan cara begini?” lanjutnya. “Dengarkan aku, Kimika. Aku bisa saja membantumu. Tapi aku tidak bisa muncul di saat matahari bersinar tanpa raga. Jadi kalau kau mau, berbagilah raga denganku, dan aku mungkin bisa memperbaiki kehidupanmu.” katanya.
“Aku menyimpan keberanian yang terpendam di dalam dirimu. Aku akan mengatasi semua rasa rendah diri dan ketakutanmu.” tambahnya. “Bukalah dirimu dan berbagilah tempat denganku. Well, aku tidak memaksa. Your choice.”
Aku terdiam sejenak. Ini keren, pikirku. Aku bisa jadi orang lain yang lebih berani. Pribadi yang kudambakan selama ini!
“Ba, baiklah… Tapi bagaimana caranya?”
“Pejamkan matamu, pusatkan semua energimu ke pusat tubuhmu, di sekitar bawah pusarmu.”
Aku melakukan apa yang dia katakan. Mula-mula tidak terjadi apa-apa. Aku mencoba lebih berkonsentrasi lagi. Kali ini, aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku merasakan di dadaku seperti ada pintu besar yang terbuka, dan sekejap kemudian, aku merasa seperti ada sesuatu menekan dan memaksa masuk ke dalam diriku melalui ‘pintu’ di dadaku. Aku menjerit tertahan, kugenggam erat tanganku dan dengan satu hentakan kuat, sesuatu yang menekanku itu berhasil masuk, sementara aku terhempas ke dinding dan jatuh pingsan.
Keesokan paginya saat aku terbangun, sebuah suara yang tak asing menyapaku. “Pagi, Kimika...” Suara itu terdengar bukan melalui telinga, melainkan melalui kepalaku. Suara Yuuki yang menempati ragaku. “Cepat, bergegaslah ke sekolah, Kimika.” katanya.
Di sekolah, kulihat Yosuke sedang duduk sendirian, asyik membaca. Ini kesempatan bagus untuk ngobrol, pikirku. Yuuki pun merespon, “Coba saja,” belum sempat aku berkata apa-apa, Yuuki melangkahkan kakiku ke meja Yosuke dan menyapanya dengan senyum manis, “Pagi, Yosuke!”
Yosuke tersenyum sambil menatapku dengan agak heran. “Hee, Kimika, tumben ceria banget,”
“Yup, soalnya hari ini kan aku nggak telat kaya kemarin,” kataku, maksudku kata Yuuki dalam diriku, sambil pasang wajah sok imut. Aku menepuk jidat dalam hati. Yuuki, kau apakan image pemalu-ku? Pasti Yosuke bakal illfeel melihatku bertingkah seperti itu.
Diluar dugaan, Yosuke justru terkekeh. “Iya, padahal kemarin pas kamu nggak ada tuh, pas seru-serunya, lho. Kelas kita kehujanan rumus dari si Botak.”
“Oh ya? Tapi kan ada Yosuke si payung rumus. Pasti kamu langsung menghisapnya sekali lihat. Nah, sekarang pinjamin dong catatan kemarin. Oh, dan jelasin sekalian, aku bukan Yosuke yang langsung ngerti sekali baca, hehe.”
“Ah, bisa aja kamu. Hei, mana mungkin aku bawa catatan matematika, hari ini kan nggak ada jadwalnya. Gini aja, besok aku bawain, terus kalau kamu mau, pulang sekolah aku ajarin sedikit. Aku kan mau ambil jurusan keguruan, jadi sekalian aku jadiin kelinci percobaan. Sebisaku, lho ya…” katanya sambil tersenyum.
“Oke, pak guru! Tapi nggak bayar, kan?” Kataku sambil pura-pura melirik sinis.
“Ah, enggak… Tapi kalau guru nggak dapet makan siang kan gimana gitu… Jadi tolong besok… yah… minimal pizza lah… hehehe…”
Aku nyengir dan beranjak kembali ke bangkuku, karena bel sudah berbunyi. Rasanya nggak percaya, Yosuke yang sampai kemarin cuma bisa kulihat dari jauh, tersenyum padaku, bahkan berjanji mengajariku!
Begitulah Yuuki membantuku, pada awalnya ini terasa begitu menyenangkan, aku bisa menjadi sosok cewek yang supel, ceria, PD, dan bermental kuat seperti ini.
Tapi semuanya perlahan hancur ketika Yuuki mulai berulah suatu hari. Ia memaksaku memekai sepatu putih ke sekolah.
“Tapi Yuuki, di sekolahku sepatunya ‘kan harus hitam…”
“Cerewet! Lihat, kakimu lebih cantik kalau pakai sepatu putih,”
Memeng benar, kakiku tampak anggun dengan sepatu putih dan tanpa kaos kaki, tapi aku bakal dapat masalah kalau begini caranya!
Benar saja, baru beberapa langkah aku masuk gerbang sekolah, guru piket sudah menegurku dengan halus. Aku tahu kalau aku harus telanjang kaki hari ini. Tapi kenyataannya berbeda. Yuuki maju dan angkat bicara. “Nggak mau. Emangnya apa urusanmu?” Guru itu terkejut, lebih-lebih aku. Seumur hidup aku nggak pernah berkata sekasar itu pada guru. Beliau mulai memberikan peringatan keras, tapi Yuuki acuh dan melangkah pergi meninggalkan beliau. Kontan saja guru itu marah dan menarik tanganku. Yuuki melotot dan menepisnya dengan kasar sambil menggertak, “Lepaskan!”
Aku ketakutan sekali. “Yuuki, hentikan!” jeritku. Namun apa daya, suaraku tak bisa keluar. Yang kudengar hanyalah suara amukan Yuuki yang makin menjadi. Gertakan pak guru. Ditambah lagi kasak-kusuk teman-teman yang menyaksikan aku bergelut dengan guru. “Hentikaaaan!” jeritku lagi, tanpa suara yang timbul.
Jadilah kasus sepele ini berakhir di ruang kepala sekolah. Baik aku dan Yuuki, semuanya bungkam dan mendengarkan saja ceramah dari Kepala Sekolah dan guru-guru. Ini tidak adil, pikirku. Aku tak melakukan apa-apa, tapi aku tak bisa membela diri. Mana mungkin aku bilang kalau aku dikendalikan doppelganger?
Sejak saat itu Yuuki kerap berulah. Teman-teman, termasuk Yosuke mulai menjauhiku. Guru-guru menjulukiku anak Bengal, dan menjadikanku bahan pembicaraan di semua kelas. Rasanya Yuuki justru menghancurkan hidupku daripada membantu.
Puncaknya ketika sepulang sekolah, begitu masuk kamar dan mengunci pintu, tiba-tiba Yuuki mengambil cutter dan mengiris tanganku. “Yuuki! A…apa yang kau lakukan…?” jeritku histeris sambil menggenggam tanganku yang terluka.
“Memenuhi hasrat terpendammu,” jawabnya. “Lihat,” Ia membuka genggaman tanganku pada luka itu, dan memperlihatkan darah yang mengalir dan yang menempel di tanganku. Entah kenapa, aku tidak ngeri melihatnya. Rasanya seperti melihat makanan saja.
“Itulah hasrat terpendammu, bloodlust. Tanpa kau sadari, kau sebenarnya suka melihat darah, tapi kau menyembunyikannya dan menyimpannya dalam diriku. Kau adalah seorang masochist!”
“Tapi tidak begini caranya! Tidak semua hasratku harus dipenuhi! Pergi! Tinggalkan tubuhku!”
“Kau pikir kau bisa mengusir jiwa yang sudah kau terima dengan sukarela? Sekali kau menerima, kau harus memeliharanya seumur hidupmu!”
Aku semakin panik mendengarnya. “Pergi!” jeritku histeris.
Cratt! Dia mengiris lenganku lagi. “Diam! Kau tidak lagi berkuasa atas dirimu. Dalam satu tubuh, jiwa mana yang kuat, dialah yang berkuasa, dan dalam dirimu, akulah yang berkuasa, Kimika. AKU!”
“Kau menipuku!” jeritku.
“Menipu?” dia tertawa sinis. “Bukankah aku hanya bilang aku bisa menjadikanmu lebih berani, dan aku sudah melakukannya, bukan? Lagipula aku tak memaksamu menerimaku dalam dirimu. Inilah pilihanmu!”
Tidak, tidak mungkin, dia benar. Dia menepati kata-katanya, akulah yang terjebak dengan kata-katanya.
Dia tak berhenti menyayat-nyayat tubuhku. Tak hanya tangan, tapi seluruh tubuhku. “Kumohon, hentikaan!” jeritku memelas. Sekeras apaun aku menjerit, suaraku tak keluar, sehingga tak seorangpun datang menolongku. Lantai kamarku berceceran darah. Aku mulai merasakan paerasaan aneh itu lagi. Seperti merasa terpuaskan, namun menderita perih di sekujur tubuhku.
“Kau tak tahan? Kalau begitu mari kita tinggalkan saja tubuh ini. Sepertinya memang sudah tak bisa ditinggali lebih lama lagi,” kata Yuuki datar.
“Apa maksudmu? Kau lupa? Ini tubuhKU!”
“Yeah, lalu? Jiwa kita sudah menjadi satu di raga ini. Hanya ada dua pilihan, bersama-sama tinggal atau bersama-sama pergi dari tubuh ini. Kalau kau memang menderita, mari kita tinggalkan tubuh ini.”
Keesokan subuhnya, ketika suasana diluar masih gelap dan dingin menusuk tulang, Cahaya dari sirene mobil polisi berkelap-kelip melewati jendela, sebagian terhalang bingkai jendela tempat ia biasa duduk saat berusaha merebutku dari ragaku, sebagian lagi menembus gorden jendela sebuah kamar yang dipenuhi petugas berbaju cokelat yang sibuk menyelidik dan menginterogasi, dan petugas berbaju putih yang mengangkut mayat anak perempuan berpakaian seragam putih abu-abu yang mati bunuh diri dengan sebilah pisau tertikam di dadanya, diiringi isak tangis keluarganya. Sekujur tubuhnya penuh luka sayatan, namun wajahnya menunjukkan kedamaian karena ia baru saja terbebas dari siksaan dari dalam dirinya sendiri.
Dari belakang, sosok doppelgangerku memegang bahuku, kemudian menarik tanganku sambil tersenyum, hingga aku melayang dan tak menapak tanah lagi.
“Kau kelihatan cantik kalau belepotan darah,” katanya melirik ke arah jasadku dengan nada mengejek. Aku hanya tersenyum kecut, sambil mengikutinya menjelajah kota, menyaksikan fajar dari atas langit.
Aku paham sekarang, kenapa pertemuan dengan doppelganger selalu berujung kematian.
Karena ia ingin bersama dirimu, si kembarannya, untuk selama-lamanya.
                             


-Fin-

Aneh ya? Aku juga bingung kenapa aku bisa ngarang cerita seseram ini (._.)
Comments
1 Comments

1 komentar:

Next Prev
▲Top▲